Gugatan Toyota Innova
22-April-2024
Jakarta, Gatra.com – Pakar hukum perlindungan konsumen dari Universitas Indonesia (UI), Inosentius Samsul menegaskan bahwa, pembuktian dalam sengketa perlindungan konsumen tidak boleh mengesampingkan hak kekayaan intelektual pencipta produk atau pemilik merek.
Hal tersebut diutarakan Inosentius menanggapi putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) yang hanya mempertimbangkan keterangan saksi ahli otomotif yang dihadirkan oleh pihak para Tergugat saat memenuhi beban pembuktian terbalik dalam sengketa dengan konsumennya bernama Elnard Peter.
Dalam sengketa dengan perkara perdata No.491/Pdt.G/2023/PN JKT. SEL., Peter menggugat PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia (Tergugat I), PT. Toyota Astra Motor (Tergugat II) dan PT. Astra Internasional (Tergugat III).
Inosentius menegaskan, kehadiran ahli dalam persidangan hanya bicara dari aspek konsep secara teoritis keilmuan. Sementara bicara tentang hak paten adalah kuasa pemegang hak paten itu sendiri.
“Kalau sudah bicara tentang hak paten atau proses, maka yang seharusnya menjelaskan hal itu adalah pemegang paten itu sendiri. Dan memang harus dilihat pada produknya,” ujar Inosentius kepada wartawan dalam keterangannya, Senin (22/4/2024).
Menurut Inosentius, kapasitas ahli dalam persidangan memberikan konsep-konsep umum tentang suatu hal. Tetapi kalau sudah masuk ke wilayah yang spesifik maka harus dijelaskan oleh orang ahli dalam bidangnya.
“Kalau sudah bicara dengan persoalan paten, yang paham tentang paten, know how suatu teknologi itu. Pembuat paten ya pemegang paten itu sendiri yang membuat paten dan dia harus menjelaskan apa kekhususannya dari teknologi atau paten yang didaftarkan itu,” tegasnya.
Dia pun mengingatkan kepada pengadilan supaya tidak boleh mengabaikan hal tersebut dalam sengketa perlindungan konsumen. Hal tersebut kata dia merupakan suatu keharusan.
“Ini bicara produk, maka yang dilihat itu produknya bukan konsep abstrak. Jadi ketika ada mobil yang rusak atau kecelakaan, tabrakan atau cacat tersembunyi, simulasinya itu dilihat pada produknya. Benar enggak itu ada cacatnya. Bandingkan itu dengan yang normal itu seperti apa,” tegasnya.
“Jadi tidak bisa mengabaikan kondisi objektif produknya. Yang harus dilihat ya produk itu sendiri. Karena itu bukti. Sesuatu itu cacat dilihat dari kondisi barangnya. Dan itu yang membuktikan, bukan pendapat dari ahli,” tambahnya.
Dia menambahkan, hak paten pada dasarnya melekat pada produk itu sendiri. Sehingga Majelis Hakim yang tidak memeriksa produk otentik dalam sengketa tersebut bagian dari peradilan sesat.
“Itu peradilan yang sesat. Proses yang tidak cukup. Kalau di pidana, dia tidak melakukan tindak pidana, malah disebut melakukan tindak pidana. Nah, dalam perdata pun demikian. Menurut saya itu peradilan sesat. Dan dasar pertimbangan hakim dalam memutus itu lemah. Karena tidak didukung dengan alat bukti pemeriksaan yang kuat. Itu berbahaya,” katanya.
Inosentius pun mendorong kepada konsumen Toyota tersebut untuk melaporkan hakim yang memutuskan perkara itu kepada Komisi Yudisial (KY). Hal tersebut dilakukan apabila hakim yang bersangkutan bermain dalam kasus itu.
“Kalau memang hakim menganggap begini saja dan memotivasi supaya memberikan keuntungan kepada pihak tertentu, maka tentu ada unsur kesengajaan. Dan itu bisa diproses dan sampai ke Komisi Yudisial, hakim bisa diperiksa, harus dieksaminasi,” tukasnya.
Artikel ini telah tayang di halaman gatra.com dengan judul “Sengketa Perlindungan Konsumen Tak Boleh Kesampingkan Hak Kekayaan Intelektual Pemilik Merk, Maksudnya?”.
Artikel ini telah tayang di halaman gatra.com dengan judul “Sengketa Perlindungan Konsumen Tak Boleh Kesampingkan Hak Kekayaan Intelektual Pemilik Merk, Maksudnya?”. Baca selengkapnya: https://www.gatra.com/news-597047-hukum-sengketa-perlindungan-konsumen-tak-boleh-kesampingkan-hak-kekayaan-intelektual-pemilik-merk-maksudn.html